Oleh: Suwadi, SH, MH.
LEGAL OPINION - Sejak pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024, muncul berbagai reaksi dari masyarakat sipil, akademisi dan kelompok purnawirawan militer yang menilai proses politik menuju kemenangan pasangan ini sarat dengan dugaan pelanggaran etik dan manipulasi hukum.
Puncaknya, pada awal 2025, sekelompok Purnawirawan TNI dan Polri, termasuk tokoh-tokoh seperti Letjen TNI (Purn) Suwarno, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo dan sejumlah eks-perwira tinggi lainnya, melayangkan petisi terbuka yang mendesak:
Pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Penyelidikan ulang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran dalam Pilpres 2024.
Mereka menyebut Gibran sebagai "produk rekayasa konstitusi", serta menduga ada abuse of power oleh Presiden sebelumnya (Joko Widodo), yang juga ayah kandung Gibran.
Pertanyaan Hukum
Apakah Gibran Rakabuming Raka dapat dimakzulkan sebagai Wakil Presiden secara terpisah dari Presiden Prabowo Subianto, berdasarkan konstitusi dan hukum yang berlaku?
Dasar Hukum
UUD 1945 Pasal 7A:
Presiden dan atau Wakil Presiden dapat Diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti:
- Melakukan pengkhianatan terhadap negara,
- Korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya,
- Perbuatan tercela,
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
UUD 1945 Pasal 7B:
Mengatur mekanisme pemakzulan, melalui:
1. Usulan DPR (didukung 2/3 anggota yang hadir),
2. Pemeriksaan yudisial oleh Mahkamah Konstitusi,
3. Putusan akhir pemberhentian oleh MPR.
Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006:
Menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memiliki pertanggungjawaban hukum yang terpisah meskipun dipilih dalam satu paket.
Analisis Hukum
1. Kemandirian Jabatan Wakil Presiden
Gibran sebagai Wakil Presiden memiliki pertanggungjawaban konstitusional yang mandiri. Ia dapat dimakzulkan tanpa menyertakan Presiden Prabowo, apabila terbukti secara personal melanggar hukum atau etika jabatan.
2. Dugaan Pelanggaran Etik & Manipulasi Hukum (Kasus MK-90)
Permintaan pemakzulan oleh para purnawirawan mencantumkan bahwa:
Gibran mendapatkan akses ke kontestasi Pilpres 2024 melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang cacat etik, karena melibatkan pamannya (Anwar Usman, Ketua MK saat itu).
Proses ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme, yang mencederai prinsip keadilan dan meritokrasi.
Gibran dinilai tidak layak secara etik dan moral menduduki jabatan Wakil Presiden karena cara memperoleh jabatan bertentangan dengan prinsip “free and fair election.”
Meskipun dugaan ini belum dikualifikasikan sebagai tindak pidana, ia dapat dimasukkan sebagai “perbuatan tercela” atau “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945.
3. Peran DPR dan MK sebagai Penentu Utama
Permintaan purnawirawan, meski tidak memiliki kekuatan hukum langsung, berfungsi sebagai tekanan moral dan politik untuk mendorong:
DPR agar memulai proses pengusulan pemakzulan.
MK untuk menilai ulang validitas etik dan hukum pengangkatan Gibran (jika diminta dalam forum pengujian norma atau perkara baru).
Kesimpulan
1. Secara hukum, Gibran Rakabuming Raka dapat dimakzulkan secara terpisah dari Presiden Prabowo Subianto, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
2. Petisi Purnawirawan dapat menjadi bahan pertimbangan politik dan etik untuk mengawali proses konstitusional, namun tidak bisa langsung menggugurkan jabatan Wakil Presiden.
3. Dugaan bahwa Gibran memperoleh kekuasaan melalui pelanggaran etik Mahkamah Konstitusi berpotensi dikualifikasikan sebagai “perbuatan tercela”.
4. Proses formal tetap harus mengikuti jalur DPR → Mahkamah Konstitusi → MPR, dengan pembuktian yang objektif dan konstitusional.
Rekomendasi
DPR perlu membentuk panitia khusus atau melakukan penyelidikan etik terhadap legalitas pemilihan Wapres.
Komisi Yudisial perlu menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam Putusan MK-90.
Lembaga masyarakat sipil dan tokoh purnawirawan disarankan menyusun Amicus Curiae atau laporan resmi ke DPR dan MK untuk memperkuat dasar permintaan pemakzulan.
Semoga bermanfaat...